Pada Tahun 1966 para
mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)
berusaha menggagalkan pelantikan anggota Kabinet dengan jalan memblokade
jalan-jalan yang menuju Istana Merdeka dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang
bannya dikempeskan. Dua puluh tahun kemudian penduduk wilayah Palestina yang
diduduki oleh Israel melancarkan gerakan yang dikenal dengan Intifadah, sebuah
demonstrasi, pemogokan serta konfrontasi dengan pasukan Israel dengan
menggunakan batu dan bom api (Molotov cocktail). Suatu gerakan yang dihadapi
oleh pasukan Israel dengan tembakan, pemukulan, infiltrasi dan penangkapan
masal. Pada tahun yang sama rakyat Filiphina melancarkan gerakan yang dikenal
dengan nama People Power atau EDSA Revolution, suatu gerakan berupa demonstrasi
bersenjatakan Rosario dan bunga yang berhasil menggulingkan Presiden Ferdinand
Marcos dan menggantinya dengan seorang Ibu Rumah Tangga Corazon Aquino, janda
Senator Benigno Aquino Jr. Pada tahun 1989 para mahasiswa prodemokrasi di
Tiongkok melakukan aksi di Lapangan Tiananmen Beijing, dilakukan pawai,
demonstrasi, mogok makan, pemasangan rintangan hingga akhirnya gerakan ini
ditindas dengan kekerasan oleh pihak yang berwajib sehingga sejumlah besar
korban berjatuhan. Pada tahun yang sama di berbagai negara Eropa Timur seperti
Hongaria, Cekoslowakia dan Jerman Timur, rakyatnya berdemonstrasi sehingga
berhasil menggulingkan rezim komunis yang berkuasa. Pada tahun 1992, rakyat
Thailand yang berdemonstrasi menuntut demokrasi berhasil menggulingkan Perdana
Menteri Suchinda Kraprayoon, meskipun melalui bentrokan dengan aparat keamanan
yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah besar korban jiwa di pihak demonstran.
Bagaimanakan gerakan
seperti itu dilihat oleh Sosiologi?. Dalam sosiologi Gerakan tersebut di atas
diklasifikasikan sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi
nama gerakan sosial (social movement). Sejumlah ahli Sosiologi (lihat,
antara lain, Giddens, 1989; Horton dan Hunt, 1984, Kornblum, 1988; Light, Keller
dan Calhoun, 1989) menekankan pada segi kolektif dari gerakan sosial ini,
sedangkan di antara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan,
organisai dan kesinambungan. Jary dan Jary (1995:614-615) mendefinisikan
gerakan sosial sebagai: “any broad social alliance of people who are
associated in seeking to effect or to block an aspect of social change within a
society” yang artinya suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang
berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam
suatu masyarakat.
Gerakan sosial ditandai
oleh adanya tujuan atau kepentingan bersama (lihat Giddens, 1989). Setelah
melakukan perusakan terhadap stadion, stasiun kereta api, kendaraan atau sarana
umum lainnya para supporter olah raga terlibat dalam perilaku kolektif biasanya
tidak mempunyai tujuan atau kepentingan bersama lagi dan perilaku kolektif akan
berhenti dengan sendirinya. Hal sama berlaku pula bagi orang yang bersama-sama
melakukan pemukulan atau bahkan pembuhunan terhadap tersangka pelaku kejahatan,
para remaja penggemar aktor atau seniman tertentu yang setelah berdesak-desakan
dalam kerumunan akhirnya berhasil memperoleh tanda tangan idola mereka, merebut
cinderamata darinya atau bersalaman dengannya.
Gerakan sosial di lain
pihak ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah
ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Gerakan
mahasiswa di beberapa kota di Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilancarkan
hampir tiap hari bertujuan mengubah perimbangan politik dan kebijaksanaan
ekonomi pemerintah (pembubaran PKI, penurunan harga, perubahan kabinet).
Gerakan mahasiswa untuk menentang perang Viet Nam yang pada akhir 60-an dan
awal 70-an secara terus menerus melanda kampus-kampus berbagai perguruan tinggi
di Amerika Serikat baru berakhir setelah pasukan AS meninggalkan Viet Nam
Selatan. Gerakan mahasiswa prodemokrasi Tiongkok di Lapangan Tiananmen Beijing
yang akhirnya ditindas dengan kekerasan fisik merupakan suatu usaha untuk
memperjuangkan dekomkrasi di RRT. Gerakan Green Peace melakukan
usaha untuk melawan praktik yang menurut penilaian mereka mengancam,
kelestarian lingkungan alam.
Giddens (1989) dan Light,
Keller dan Calhoun (1989) menyebutkan cirri lain gerakan sosial, yaitu
penggunaan cara yang berbeda di luar institusi yang ada. Berbagai gerakan
sosial memang memenuhi kriteria ini; gerakan mahasiswa di Indonesia pada tahun
1966, gerakan mahasiswa Amerika menentang perang Viet Nam, gerakan mahasiswa di
Tiongkok Tiananmen, Gerakan Green Peace memang sering berada di luar institusi
yang ada. Sebagaimana dapat dilihat dari kasus di atas, cara yang digunakan
memang berada di luar institusi/pemogokan, pawai dan demonstrasi tanpa izin,
mogok makan, intimidasi, konfrontasi dengan aparat keamanan.,
Karena keanekaragaman
gerakan sosial sangat besar, maka berbagai ahli sosiologi mencoba
mengklasifikasinya dengan menggunakan kriteria tertentu. David Aberle, misalnya
dengan menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki (perubahan
perseorangan atau perubahan sosial) dan besarnya perubahan yang diinginkan
(perubahan untuk sebagian atau perubahan menyeluruh), membedakan empat tipe
gerakan sosial (Lihat Giddens, 1989:625; Light, Keller dan Calhoun,
1989:599-600). Tipologi Aberie adalah sebagai berikut:
|
|
TIPE PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
|
|
|
|
Perubahan Perorangan
|
Perubahan Sosial
|
BESARNYA PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
|
Sebagian
|
Alternative Movements
|
Reformative Movements
|
Menyeluruh
|
Rodemptive Movements
|
Transformative Movements
|
Alternative Movement
merupakan gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku perseorangan. Dalam
kategori ini kita masukkan berbagai kampanye untuk mengubah perilaku tertentu,
seperti misalnya kampanye agar orang tidak merokok, tidak minum minuman keras,
dan tidak menyalahgunakan zat. Dengan semakin menyebarnya penyakit AIDS kini
pun banyak dilancarkan kampanye agar orang melakukan hubungan seks dengan
bertanggung jawab.
Ruang lingkup redemptive
movement lebih luas daripada alternative movement, karena yang hendak dicapai
ialah perubahan menyeluruh pada perilaku perseorangan. Gerakan ini kebanyakan
terdapat di bidang agama; melalui gerakan ini, misalnya perseorangan diharap
untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama.
Pada tipe ketiga,
reformative movement, yang hendak diubah bukan perseorangan melainkan
masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu
masyarakat. Misalnya gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak
dengan laki-laki. Gerakan people power di Filiphina atau gerakan menentang
perdana menteri di Suchinda di Thailand pun dapat dikategorikan dalam tipe ini
karena tujuannya terbatas, yaitu pergantian pemerintah.
Transformative movement, di
pihak lain, merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh.
Gerakan kaum khmer merah (khmer rouge) untuk menciptakan masyarakat komunis di
Cambodia adalah suatu proses dalam mana seluruh penduduk kota dipindahkan ke
desa dan lebih dari satu juta orang Cambodia kehilangan nyawa mereka karena
dibunuh kaum khmer merah, menderita kelaparan atau sakit, merupakan contoh
ekstrim gerakan sosial semacam ini. Gerakan transformasi yang dilancarkan rezim
komunis di Uni Soviet pada tahun 1930-an serta di Tiongkok sejak akhir 40-an
untuk mengubah masyarakat mereka menjadi masyarakat komunis pun mengakibatkan
jatuhnya korban jutaan jiwa. Gerakan orang India yang dianggap tak berkasta
untuk menentang diskriminasi oleh orang-orang berkasta bawah, menengah, dan atas
pun dapat dikategorikan dalam tipe ini karena keberhasilan gerakan mereka akan
berarti pula perombakan mendasar pada masyarakat India.
Kornblum pun membuat
klasifikasi gerakan sosial, namun berbeda dengan Aberie, maka yang dijadikannya
cerita klasifikasi ialah tujuan yang hendak dicapai (lihat Kornblum,
1988:233-236). Atas dasar kriteria ini Kornblum membedakan antara revolutionary
movement, reformist movement, conservative movement, dan reactionary movement.
Apabila gerakan sosial
bertujuan mengubah institusi dan stratifikasi masyarakat, maka gerakan tersebut
merupakan gerakan revolusioner (revolutionary movement). Revolusi sosial
merupakan suatu transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk di dalamnya
institusi pemerintah dan sistem stratifikasi (lihat Kornblum, 1988: 250).
Revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan Revolusi Tiongkok pada tahun 1949 dapat
dimasukkan dalam kategori ini, karena di kedua masyarakat tersebut sistem
budaya, sosial, politik, dan ekonomi lama dirombak menjadi sistem komunis.
Apa yang membedakan
revolusi dengan gerakan sosial lain? Menurut Giddens, suatu revolusi harus
memenuhi tiga kriteria: (1) melibatkan gerakan sosial secara masal, (2)
menghasilkan proses reformasi atau perubahan, dan (3) melibatkan ancaman atau
penggunaan kekerasan (lihat Giddens, 1989:605). Dengan demikian, menurut
Giddens, revolusi perlu dibedakan dengan Kudeta (coup d’etat) dan
pemberontakan, karena menurutnya kudeta hanya melinbatkan penggantian pimpinan
dan tidak mengubah institusi politik sedangkan pemberontakan tidak membawa
perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan (Giddens,
1989:604-605).
Jika suatu gerakan hanya
bertujuan mengubah sebagian institusi dan nilai, maka nama yang diberikan
Kornblum ialah gerakan reformis (reformist movement). Atas dasar
kriteria ini gerakan Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakarta
merupakan gerakan reformis, karena terutama bertujuan memberikan pendidikan
barat formal kepada putra-putri pribumi (lihat Nagazumi, 1989). Pada mulanya
gerakan Sarekat Islam yang didirikan di Surakarta antara tahun 1911-1912 pun
dapat dimasukan dalam kategori ini, karena bertujuan meningkatkan kesempatan
usaha dan pendidikan bagi pribumi serta pemahaman mengenai agama Islam (lihat
Korver, 1985).
Gerakan yang berupaya
mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut Kornblum gerakan
konsevative (conservative movement). Di Amerika Serikat, misalnya usaha
kaum feminis di tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi
menjamin persamaan hak lebih besar antara laki-laki dan perempuan (ERA atau Equal
Right Amandement) ditentang dan akhirnya digagalkan oleh gerakan
konservatif perempuan STOP-ERA; yakni suatu gerakan anti feminis yang melihat
perjuangan kaum feminis sebagai ancaman terhadap peranan perempuan dalam
keluarga sebagai istri dan ibu (lihat Light, Keller dan Calhoun, 1989:605-607).
Suatu gerakan disebut
gerakan reaksioner (reactionary movement) manakala tujuannya ialah untuk
kembali ke institusi dan nilai di masa lalu dan meninggalkan institusi dan
nilai masa kini. Contoh yang diberikan Kornblum ialah gerakan Ku Klux Klan di
Amerika Serikat. Organisasi rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di
Amerika Serikat ke masa lampau di kala institusi sosial mendukung keunggulan orang
kulit putih di atas orang kulit hitam (white supremacy). Gerakan Pauline Hanson
dengan One Nation Party-nya untuk menghambat migrasi orang Asia ke Australia
dan menolak pemberian hak-hak khusus kepada orang Aborigin pun dapat dimasukan
ke dalam kategori ini.
B. FAKTOR
PENYEBAB GERAKAN SOSIAL
Penjelasan yang sering
dikemukakan mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial
(lihat, antara lain,Giddens, 1990:615; Kornblum, 1988;240-242; Light, Keller
dan Calhoun, 1989:601-609). Menurut penjelasan ini orang melibatkan diri dalam
gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan,
penderitaan), misalnya di bidang ekonomi (seperti hilangnya peluang untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya: pangan, sandang, papan). Para penganut
penjelasan ini menunjuk pada fakta bahwa gerakan sosial dalam sejarah didahului
deprivasi yang disebabkan oleh fakto seperti kenaikan harga-harga bahan
kebutuhan pokok.
Beberapa orang ahli
sosiologi, seperti misalnya James Davies, kurang sependapat dengan penjelasan
deprivasi semata-mata. Mereka menunjuk pada fakta bahwa gerakan sosial sering
muncul pada saat masyarakat menikmati kemajuan di bidang ekonomi. Oleh sebab
itu dirumuskanlah penjelasan yang memakai konsep deprivasi relativ.
James Davies mengemukakan
bahwa meskipun tingkat kepuasan masyarakat meningkat terus, namun mungkin saja
terjadi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang
dihadapi, kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan yang diinginkan masyarakat
dengan apa yang diperoleh secara nyata. Kesenjangan ini dinamakan deprivasi
relative. Apabila kesenjangan relativ ini semakin melebar sehingga melewati
batas toleransi masyarakat, misalnya karena pertumbuhan ekonomi dan sosial
diikuti dengan kemacetan atau bahkan kemunduran mendadak maka menurut teori
Davies, revolusi akan tercetus (lihat, antara lain Kornblum, 1988:240-242 dan
Light, Keller, dan Calhoun, 1989:600-601).
Sejumlah ahli sosiologi
lain berpendapat bahwa deprivasi tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan
gerakan sosial (lihat Light, Keller, dan Calhoun, 1989: 602-604). Menurut
mereka, terjadinya perubahan sosial memerlukan pengerahan sumber daya manusia
maupun alam (resource mobilization). Tanpa adanya pengerahan sumber daya suatu
gerakan sosial tidak akan terjadi meskipun tingkat deprivasi tinggi.
Keberhasilanb suatu gerakan sosial bergantung, menurut pandangan ini, pada
faktor manusia seperti kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan serta
faktor-faktor sumber daya lain seperti dana dan sarana. Deprivasi yang dialami
masyarakat kita pada tahun 1966, tingkat inflasi tinggi yang dampaknya terasa
pada harga-harga kebutuhan pokok, ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan politik
dalam negeri kepempimpinan nasional setelah peristiwa percobaan kudeta “Gerakan
30 September”, menurut teori ini tidak akan menghasilkan gerakan sosial berupa
kebangkitan “angkatan 1966”, apabila tidak ditunjang dengan pengerahan sumber
daya seperti kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan mahasiswa dan pelajar,
dukungan moral dan material kekuatan dalam TNI, dukungan berbagai kalangan
masyarakat, dan peliputan oleh media massa dalam dan luar negeri.
B. Perilaku Kolektif
Pengertian
Perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa, sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang umum.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi; fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi; casual, conventional, expresive, dan acting. Menurut Di Renzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior dalam mengugkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain: crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in desasters, rumor, publics, publics opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut: mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), masa (mass), publik (public), dan gerakan sosial (social movement).
Perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa, sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang umum.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi; fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi; casual, conventional, expresive, dan acting. Menurut Di Renzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior dalam mengugkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain: crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in desasters, rumor, publics, publics opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut: mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), masa (mass), publik (public), dan gerakan sosial (social movement).
Gerakan
sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain,
utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis
perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa
konsep, yakni; orientasi tujuan pada perubahan (change-oriented goals), ada
tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization),
tingkatan kontiunitas aktivitas yang sifatnya temporal, (some degree of
temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan
di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional)
(Cook et.al., 1995). Dari berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan
sosial mencakup pula adanya suatu organisasi tertentu yang lebih kompleks dan
bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.
Perilaku Kolektif Refleksi Perilaku Individu
Perilaku kolektif sebenarnya merupakan refleksi dari perilaku individu. Perilaku yang ditimbulkan ketika menyikapi suatu objek. Menurut Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan, bahwa untuk memahami perilaku individu dalam kelompok sosial, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari :
Pertama, kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu.
Kedua, kecenderungan sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain
Ketiga, ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Perilaku Kolektif Refleksi Perilaku Individu
Perilaku kolektif sebenarnya merupakan refleksi dari perilaku individu. Perilaku yang ditimbulkan ketika menyikapi suatu objek. Menurut Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan, bahwa untuk memahami perilaku individu dalam kelompok sosial, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari :
Pertama, kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu.
Kedua, kecenderungan sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain
Ketiga, ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih
jauh diuraikan, bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat
pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
Dengan
demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role
disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons
interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul
secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu
memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain
dalam bergaul.
Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan
kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal
sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah
dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan
(4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut, merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau
Sementara itu, Buhler (1982) memberikan tinjauan dari aspek psikologi individu yang dikutip oleh Makmun (2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 ) Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya
Teori Perilaku Kolektif
Untuk memahami perilaku kolektif, ada tiga teori yang digunakan untuk mendekati dan menjelaskan perilaku kolektif atau kejadian perilaku massa.
Pertama. Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru atau imitasi.
Kedua. Emergence Norm Theory, menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai atau norma, maka konflik horisontal akan terjadi.
Ketiga. Convergency Theory, menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian di mana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi.
Keempat. Deindivuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut, merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau
Sementara itu, Buhler (1982) memberikan tinjauan dari aspek psikologi individu yang dikutip oleh Makmun (2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 ) Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya
Teori Perilaku Kolektif
Untuk memahami perilaku kolektif, ada tiga teori yang digunakan untuk mendekati dan menjelaskan perilaku kolektif atau kejadian perilaku massa.
Pertama. Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru atau imitasi.
Kedua. Emergence Norm Theory, menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai atau norma, maka konflik horisontal akan terjadi.
Ketiga. Convergency Theory, menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian di mana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi.
Keempat. Deindivuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.
Bentuk-Bentuk
Perilaku Kolektif
Beberapa bentuk perilaku kolektif yang dapat diidentifikasi, antara lain:
A. Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985) dalam Sunarto (2004). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd)
Beberapa bentuk perilaku kolektif yang dapat diidentifikasi, antara lain:
A. Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985) dalam Sunarto (2004). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd)
Mengenai
kerumunan, Kornblum, mendefinisikannya sebagai sejumlah besar orang yang
berkumpul bersama dalam jarak dekat. Giddens mendefinisikan kerumunan, adalah
sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu
dengan yang lain di tempat umum dan Light Keller serta Calhoun mendefinisikan
kerumunan adalah sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau
suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan dipengaruhi orang lain .
Kesimpulannya, bahwa kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara
dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan.
Faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Mengenai
faktor penyebab kerumunan terdapat dua teori, yaitu teori Le Bon dan teori
Smelser dalam Sunarto (2004). Teori Le Bon, menurutnya faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
§ Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.
§ Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.
§ Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival musik pop
§ Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .
Sedangkan menurut teori Smelser. faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan, adalah:
§ Structural conduciveness (struktur situasi sosial yang tidak kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial
§ Structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya pelbagai bentuk ketegangan
§ Growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak
§ Precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan
§ Mobilization for actions (mobilisasi para peserta) untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
§ Failure of Social Control (penyimpangan pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat membuat perlawanan massa yang lebih masif, awalnya agen (pengamanan) sebagai penghambat, mencegah, ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Namun karena terjadi penyimpangan prosedural dalam melakukan pengendalian sehingga memunculkan kemarahan yang sulit dikendalikan.
Selanjutnya, teori tentang pembatas perilaku kerumunan oleh Horton dan Hunt (1999) yang dikutip oleh Razak (2008), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor: (1) kebutuhan, emosi para anggota, (2) nilai-nilai para anggota; (3) kepeminpinan kerumunan (4) kontrol eksternal terhadap kerumunan
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat kemanan
§ Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.
§ Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.
§ Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival musik pop
§ Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .
Sedangkan menurut teori Smelser. faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan, adalah:
§ Structural conduciveness (struktur situasi sosial yang tidak kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial
§ Structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya pelbagai bentuk ketegangan
§ Growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak
§ Precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan
§ Mobilization for actions (mobilisasi para peserta) untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
§ Failure of Social Control (penyimpangan pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat membuat perlawanan massa yang lebih masif, awalnya agen (pengamanan) sebagai penghambat, mencegah, ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Namun karena terjadi penyimpangan prosedural dalam melakukan pengendalian sehingga memunculkan kemarahan yang sulit dikendalikan.
Selanjutnya, teori tentang pembatas perilaku kerumunan oleh Horton dan Hunt (1999) yang dikutip oleh Razak (2008), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor: (1) kebutuhan, emosi para anggota, (2) nilai-nilai para anggota; (3) kepeminpinan kerumunan (4) kontrol eksternal terhadap kerumunan
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat kemanan
Bentuk-Bentuk
Perilaku Kerumunan
Perilaku kerumunan diklasifikasikan oleh soekanto (2006) menjadi tiga tipe, pertama, kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial, kedua, kerumunan sementara (casual crowd), ketiga, kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds), bila dirincikan, adalah sebagai berikut:
a. Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial
1) Kerumunan konvensional (convensional crowd) atau Formal audience, Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus) seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai statu tujuan sesuai aturan yang ada.
2) Kerumunan ekspresif (expressive crowd) Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan.
b. Kerumunan bersifat sementara (casual crowds)
1) Inconvenient aggregation, kumpulan yang kurang menyenangkan, seperti kerumunan karena antri membeli karcis, atau menunggu bis dan sebagainya. Kehadiran orang lain merupakan hambatan terhadap individu untuk memenuhi keinginan secara cepat.
2) Panic crowds, bentuk perilaku kolektif yang tindakannya merupakan reaksi terhadap ancaman yang muncul di dalam kelompok tersebut. Biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian bencana (disaster). Tindakan reaksi massa ini cenderung terjadi pada awal suatu kejadian, dan hal ini tidak terjadi ketika mereka mulai tenang. Bentuk lebih parah dari kejadian panik ini adalah Histeria Massa. Pada histeria massa ini terjadi kecemasan yang berlebihan dalam masyarakat. misalnya munculnya isu tsunami, atau banjir Bandung.
3) Spectator Crowds, kerumunan penonton akibat karena ingin melihat sesuatu, misalnya artis. Kerumunan tersebut tidak direnacanakan dan tindakannya sulit dikendalikan.
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds)
1) Acting Mobs, merupakan kerumunanan (Crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan atau penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustrasi, adanya perasaan dicederai oleh institusi yang telah mapan atau lebih tinggi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa. Mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum dan apapun yang dipandang menjadi sasaran kemarahanannya.
2) Immoral Crowds, kerumunan yang tindakannya Sangat menyimpang dari ajaran-ajaran atau ketentuan hukum yang berlaku dimasayarakat.
Cara Menyikapi Perilaku Massa dalam Pandangan Psikologi
Ilmu psikologi menghususkan untuk mengkaji volatilitas perilaku manusia secara kolektif bidang kajian tersebut dinamakan dengan perlikau kolektif (collective behavior). Dalam perilaku kolektif, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan perubahan sosial dalam kelompoknya, institusinya, masyarakatnya. Tindakan kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada juga tindakan yang tidak diorganisir. Perilaku kolektif yang berupa gerakan massa, seringkali muncul ketika dalam interaksi sosial itu terjadi situasi yang tidak terstruktur, ambigious (membingungkan), dan tidak stabil.
Perilaku kerumunan diklasifikasikan oleh soekanto (2006) menjadi tiga tipe, pertama, kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial, kedua, kerumunan sementara (casual crowd), ketiga, kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds), bila dirincikan, adalah sebagai berikut:
a. Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial
1) Kerumunan konvensional (convensional crowd) atau Formal audience, Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus) seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai statu tujuan sesuai aturan yang ada.
2) Kerumunan ekspresif (expressive crowd) Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan.
b. Kerumunan bersifat sementara (casual crowds)
1) Inconvenient aggregation, kumpulan yang kurang menyenangkan, seperti kerumunan karena antri membeli karcis, atau menunggu bis dan sebagainya. Kehadiran orang lain merupakan hambatan terhadap individu untuk memenuhi keinginan secara cepat.
2) Panic crowds, bentuk perilaku kolektif yang tindakannya merupakan reaksi terhadap ancaman yang muncul di dalam kelompok tersebut. Biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian bencana (disaster). Tindakan reaksi massa ini cenderung terjadi pada awal suatu kejadian, dan hal ini tidak terjadi ketika mereka mulai tenang. Bentuk lebih parah dari kejadian panik ini adalah Histeria Massa. Pada histeria massa ini terjadi kecemasan yang berlebihan dalam masyarakat. misalnya munculnya isu tsunami, atau banjir Bandung.
3) Spectator Crowds, kerumunan penonton akibat karena ingin melihat sesuatu, misalnya artis. Kerumunan tersebut tidak direnacanakan dan tindakannya sulit dikendalikan.
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds)
1) Acting Mobs, merupakan kerumunanan (Crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan atau penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustrasi, adanya perasaan dicederai oleh institusi yang telah mapan atau lebih tinggi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa. Mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum dan apapun yang dipandang menjadi sasaran kemarahanannya.
2) Immoral Crowds, kerumunan yang tindakannya Sangat menyimpang dari ajaran-ajaran atau ketentuan hukum yang berlaku dimasayarakat.
Cara Menyikapi Perilaku Massa dalam Pandangan Psikologi
Ilmu psikologi menghususkan untuk mengkaji volatilitas perilaku manusia secara kolektif bidang kajian tersebut dinamakan dengan perlikau kolektif (collective behavior). Dalam perilaku kolektif, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan perubahan sosial dalam kelompoknya, institusinya, masyarakatnya. Tindakan kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada juga tindakan yang tidak diorganisir. Perilaku kolektif yang berupa gerakan massa, seringkali muncul ketika dalam interaksi sosial itu terjadi situasi yang tidak terstruktur, ambigious (membingungkan), dan tidak stabil.
Reicher
& Potter (1985) mengidentifikasi adanya lima tipe kesalahan mendasar dalam
psikologi tentang kerumunan (perilaku massa) di masa lalu dan masa kini.
Kesalahan-kesalahan itu, meliputi yaitu: (1) abstraksi tentang episode
kerumunan bersumber dari konflik antar-kelompok, (2) kegagalan untuk
menjelaskan proses dinamikanya, (3) terlalu dibesar-besarkannya anonimitas
keanggotaannya, (4) kegagalan memahami motif anggota kerumunan, dan (5) selalu
menekankan pada aspek negatif dari kerumunan. Selanjutnya dikatakan lagi, bahwa
selama ini terjadi kekeliruan yang melembaga, yakni menggunakan teori kerumunan
untuk menyelesaikan konflik massa. Dia mengidentifikasikan adanya dua bentuk
bias dalam memandang teori kerumunan (crowds) yaitu bias politik dan bias
perspektif, bias politik terjadi karena teori kerumunan disusun sebagai usaha
mempertahankan tatanan sosial dari mob dan tindakan kerumunan selalu dipandang
sebagai konflik sosial. Sementara itu bias perspektif terjadi karena para ahli
hanya berperan sebagai orang luar (outsider) yang hanya mengamati masalah
tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam memandang tindakan kerumunan
secara objektif.
Seorang
sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) menyatakan mengenai perilaku
kerumunan dan cara mengatasi kerumunan sebagai berikut:
§ Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
§ Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
§ Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
§ Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri
§ Membekali aparat keamanan dengan pendidikan mental dan latihan untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan brutal
Disamping itu, ada beberapa hal yang penting bagi pihak kemanan atau petugas untuk menyikapi perilaku massa yang tidak terkontrol dan kemungkinan melakukan hal yang destruktif, antara lain:
§ Memahami bentuk perilaku kolektif
§ Memahami motif perilaku kolektif
§ Menggunakan cara yang bersifat persuasif
§ Perencanaan penyelesaian yang matang
§ Kesiapan mental petugas
§ Pengendalian diri yang baik
§ Keberanian dalam bersikap
§ Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
§ Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
§ Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
§ Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri
§ Membekali aparat keamanan dengan pendidikan mental dan latihan untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan brutal
Disamping itu, ada beberapa hal yang penting bagi pihak kemanan atau petugas untuk menyikapi perilaku massa yang tidak terkontrol dan kemungkinan melakukan hal yang destruktif, antara lain:
§ Memahami bentuk perilaku kolektif
§ Memahami motif perilaku kolektif
§ Menggunakan cara yang bersifat persuasif
§ Perencanaan penyelesaian yang matang
§ Kesiapan mental petugas
§ Pengendalian diri yang baik
§ Keberanian dalam bersikap
§ Menghindari penggunaan senjata yang dapat mengakibatkan
kematian